Pages

Subscribe:

Sabtu, 05 April 2014

Kekerasan Serta Kebebasan pada Pers Sebelum dan Sesudah Reformasi



Ilmu Budaya Dasar
(( Kekerasan Serta Kebebasan pada Pers
Sebelum dan Sesudah Reformasi ))

Kelompok 1
Nama Anggota :
  • Amelia                                                1A113184
  • Dewi Ayu Saraswati                           1A113181
  • Dessy Putri Widyanti                         1A113182
  • Margaret Pusparani Rumahloine     1A113185

     I.              Pendahuluan
Kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.

  II.              Kekerasan yang terjadi pada pers
Ada bermacam risiko yang dihadapi wartawan, baik secara fisik, psikologis maupun ancaman dari negara dan penguasa dengan ancaman hukuman penjara. Risiko secara fisik contohnya pemukulan, aksi premanisme, pengrusakan peralatan seperti kamera dan alat rekam, penculikan, penganiyaan, penyerangan terhadap kantor media hingga pembunuhan. Berikut adalah contoh kekerasan pada pers
1.     Kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifudin atau dikenal Udin wartawan Bernas Jogja pada tahun 1996 yang hingga sekarang tidak juga terungkap, menjadi salah satu contoh. Pria usia 33 tahun itu meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah mendapat tiga hari perawatan di rumah sakit Bethesda Yogyakarta usai dipukuli.(Santoso, 1997).
2.     kasus AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali yang dipastikan oleh Kapolda Bali tewas dibunuh setelah menulis pemberitaan terkait penyimpangan di Dinas Pendidikan. I Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, yang kini dijerat sebagai tersangka pelaku pembunuhan terhadap korban Prabangsa. Lebih beruntung dari Udin yang kasusnya belum juga terungkap selama 17 tahun ini, kasus Prabangsa yang terjadi pada tahun 2009 sudah menyeret pelaku pembunuhan ke meja hijau.
3.     Kasus Harian Rakyat Merdeka pada tahun 2003. Redaktur Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Supratman divonis bersalah karena menurunkan berita yang ditulis wartawannya dengan judul “Mulut Mega Bau Solar” (2003), “Mega Lintah Darat” (2003), “Mega Lebih Ganas dari Sumanto (2003) dan “Mega Cuma Sekelas Bupati” (2003).

 III.            Pers pada era orde baru
Di era orde baru penerbitan pers mendapat pengawasan ketat dari pemerintah. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan (pencabutan izin terbit). Peran Departemen Penerangan kala itu memiliki power yang sangat besar mengontrol seluruh media massa di Indonesia. Bahkan jumlah media massa pun dibatasi jumlahnya oleh departemen ini.
Salah satu kasus yang menjadi sejarah tak terlupakan adalah dua kali kasus pembredelan pada media Tempo yang merupakan salah satu media nasional paling berpengaruh pada masa itu. Pertama kalinya pada tahun 1982 karena mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya Golkar pada saat Pemilu. Kali kedua 21 Juni 1994 ada tiga media yaitu Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin setelah menginvestigasi penyelewengan pejabat negara dan dipublikasikan.
Selanjutnya pada zaman orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 : “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain.
Melihat isi undang-undang tersebut, keberadaan Dewan Pers bisa diibaratkan hanya formalitas. Akibatnya, fungsi dan peran pers tidak bisa berjalan dengan maksimal. Sama sekali tidak ada perlindungan negara bagi wartawan pers untuk menjalankan tugasnya.
 IV.            Pers pada era reformasi
Kebebasan pers menemukan titik terang setelah runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Momentum reformasi inilah yang kemudian dijadikan celah bagi pers untuk membebaskan diri dari belenggu penguasa. Pers kembali mengambil alih peran dan fungsinya sebagai wadah dan corong pembentukan opini public dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara.
Zaenuddin HM (2007:4) dalam bukunya The Journalist menuliskan ada enam fungsi media massa :
1.      Menyebarkan informasi kepada khayalak.
2.      Menyalurkan pendapat umum ; menyalurkan aspirasi, pendapat, komentar, kritik dan saran dari masyarakat.
3.      Media menjadi wahana pendidikan dengan memberikan informasi yang mengandung nilai-nilai edukatif.
4.      Media berfungsi sebagai media hiburan.
5.      Media berfungsi sebagai alat kontrol social (society control) dalam kehidupan berbangsa dan bernehara.
6.      Media berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Selanjutnya wartawan dan pers nasional dalam melakoni profesi jurnalistiknya melaksanakan tugas yang cuku berat, yakni :
1.      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
3.      Mendorong tegaknya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia.
4.      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan yang tepat, akurat dan benar.
5.      Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
6.      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
7.      Fenomena perubahan besar bagi pers untuk mengekspresikan kebebasan ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Di sisi lain, kebebasan pers yang didengungkan seiring dengan membanjirnya perusahaan pers di era reformasi, belum sepenuhnya memberikan perlindungan penuh terhadap wartawan. Meski pada Pasal 8 Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum, namun perlindungan hukum tidak jelas dan tegas.
Perlindungan yang dirasakan masih lebih kepada perlindungan represif dan mengedepankan ranah hukum. Adapun penggunaan hak jawab termuat pada Pasal 5 ayat (2) UU Pers Pers wajib melayani Hak Jawab. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Namun yang terjadi, penanggung jawab pemberitaan di perusahaan media justru malah bisa menjadi terdakwa atas produk jurnalistik yang diterbitkannya.
Dari segi jaminan keselamatan, juga belum ada produk hukum yang secara spesifik melindungi wartawan saat menjalankan pekerjaannya. Termasuk dari perusahaan persnya sendiri. Standar perlindungan wartawan yang termaktub di dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan juga belum memuat sanksi tegas.
Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antara lain bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan atau perampasan alat-alat kerja serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun. Peraturan itu juga menyatakan bahwa wartawan yang ditugasi di wilayah berbahaya dan atau wilayah konflik harus dibekali surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan penugasannya. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada juga satupun perusahaan media yang disanksi tegas ketika tidak menjalankan standar perlindungan wartawan.
Dengan minimnya perlindungan negara melalui undang-undang terhadap profesi wartawan, maka hendaknya setiap insan wartawan dapat melindungi dirinya sendiri. Kekerasan terhadap wartawan juga bisa muncul sebagai akibat kurangnya etika dalam menjalankan tugas, harus dibenahi.
  V.              Kesimpulan
Kebebasan pers dan perlindungan Undang-Undang 14 Tahun 1999 tentang Pers antara era Orde Baru dan reformasi belum maksimal. Kebebasan pers yang didengungkan bergulir sejak reformasi belum sepenuhnya tidak sejalan dengan bentuk pemerintahan Indonesia yang menganut system demokrasi. Bahkan perangkat negaranya pun masih ada yang alergi anti kritik atas fungsi pengawasan yang dilakukan jurnalis. Perlindungan wartawan dalam mengemban tugas, bukan hanya belum sepenuhnya didapat dari negara, tapi juga dari perusahaan media tempat wartawan bernaung.

Sumber :


0 komentar:

Posting Komentar