PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“Hak Asasi Manusia”
Disusun oleh :
Nama
: Dessy Putri Widyanti
NPM : 3.111.08.50
Kelas : 2DB13
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, penulis diberikan
kesehatan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Kewarganegaraan ini tepat pada waktunya yang bertema “Hak Asasi Manusia”.
Tugas
ini tidak akan rampung tanpa bantuan dan bimbingan dari Yth Bpk. Idi Darma
selaku dosen Pancasila. Kepada beliau penulis haturkan banyak terima kasih
karena telah memberikan banyak saran dan masukan yang berharga serta motivasi
dalam tugas ini. Dalam penulisan dan penyusunan tugas ini tentunya terdapat
kekurangan serta keterbatasan kemampuan, sehingga mendapatkan hasil penulisan
yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena hal ini, penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca yang budiman,
sehingga dapat menutupi kekurangan dan kelemahan penulis untuk akhirnya
menjadikan sempurnanya penulisan tugas ini.
Dalam
kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada teman – teman saya yang sudah banyak membantu
dan terima kasih yang teristimewa dan tiada terkira penulis haturkan kepada
ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan segala kasih sayangnya serta do’a
yang selalu mengiringi, selalu memberikan semangat membesarkan hati penulis.
Akhirnya penyusun berharap tugas ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak. Dengan segala kerendahan hati penyusun berharap agar pembaca
memberikan kritik dan saran yang membangun bagi kemajuan pengetahuan penyusun
karena penyusun sadar bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kelemahan dan
kekurangan. Akhir kata, tiada suatu hal yang sempurna, semoga skripsi ini bisa
memberikan manfaat dalam menambah pengetahuan tentang Hak Asasi
Manusia.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu issu penting dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat di Indonesia. Namun masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia
yang belum terselesaikan dengan baik, banyak pihak yang masih ragu-ragu akan
penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi
penegakan HAM di Indonesia, dan faktor penyebab kurang ditegakannya HAM di
Indonesia, termasuk kolerasi penegakan HAM dengan kegiatan keagamaan dan hukum
dari agama yang di anut oleh masyarakat.
Hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak
sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik
untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak
Asasi Manusia”.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus
dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah
merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu
juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah
(Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
B.
Pokok
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas maka terdapat beberapa pokok masalah yaitu:
1. Bagaimana
sejarah HAM yang ada di Indonesia?
2. Apa
saja masalah HAM yang ada di Indonesia dan bagaimana penyelesain masalah
tersebut?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui sejarah HAM yang ada di Indonesia
2. Untuk
mengetahui masalah HAM yang ada di Indonesia dan bagaimana penyelesain masalah
tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia
Istilah
hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak
kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental
rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental
rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya
suatu tuntutan (claim) Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad
XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945,
menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena pemahaman dan
konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam. Pada abad XX berkembang
adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak
hukum (positif) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini
munculnya Piagam PBB.
Pada
tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu
Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang
mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya. Deklarasi HAM sedunia
itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam
(intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara
masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan
menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar
terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung
pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria
obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintahannya. Sebagai sebuah pernyataan atau piagam
Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum
secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini
memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini
melambangkan “commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan
hak asasi.
Agar
pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian
unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB
yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian)
tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
a.
Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on
economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas
pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal
9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan
hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
b.
Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and political
rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri
(Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan
berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21),
dan hak berserikat (Pasal 22).
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Dalam perjalanan
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga undang-undang dasar
dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku
mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember
1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di
berlakukan 17 agustus 1950 – 5 Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai
dengan sekarang konstitusi Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar
1945. Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan
dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34. Pengaturan
tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal
yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu kalimat saja dan
penambahan satu pasal. Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan
Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof.
Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang
karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M.
Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan
untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari
pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan
beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak
pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950
yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM
dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian
berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan
dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah menyusun
Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warg Negara. MPRS
telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan
hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu,
akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat bahwa pada saat itu pemerintahan
Orde abaru bersifat anti terhadap piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM
sudah di atur di berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus
kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM, maka MPR pada
sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB
tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan
demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian
terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa
orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai
anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta
untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan
prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan
atas Hukum telah menetapkan:
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang
Pengesahan Hak-Hak Anak,
3.
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden
B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai tindak
lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan Convention Against
Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.
B.
Masalah
Hak Asasi Manusia di Indonesia
pasal 28 (g)
Ancaman tuntutan hukum (kriminalisasi) terhadap direktur walhi sulsel oleh mapolda Sulsel
Korban : Indah Fatinaware ( Direktur Eksekutif Walhi Sulsel)
Pada Bulan Oktober 2003 Mapolda
Sulawesi Selatan telah mengirimkan surat panggilan pertama No Pol:
S.Pgl/2351/X/2003/Dit Reskrim dan panggilan kedua No Pol :
S.Pgl/1295.A/X/2003/Dit Reskrim terhadap Indah Fatinaware, Direktur Walhi
Sulawesi selatan di Jl Rs Faisal X No 2 Makassar. Surat Panggilan ini
dikeluarkan oleh Mapolda Sulsel untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka
penyidikan tindak pidana. Dalam surat tersebut korban di wajibkan menghadap
kepada penyidik di Polda Sulsel.
Korban dalam surat panggilan
tersebut diperiksa dan dimintai keterangannya selaku tersangka dalam perkara
tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan secara tertulis dan
atau penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap institusi Polri (Polda
Sulsel) sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 335 ayat (2) Subsider Pasal
311 lebih Subs Pasal 310 lebih Subsider lagi Pasal 316 dan atau Pasal 55 dan 56
KUHP.
Tuduhan yang dilakukan terhadap
korban berkaitan dengan dikeluarkannya pernyataan sikap bersama terhadap
insiden penembakan dan penangkapan petani Kasus Bulukumba, yang ditandatangani
oleh korban pada tanggal 4 Oktober 2003 lalu. Pernyataan sikap tersebutlah yang
dianggap Polda Sulsel telah mencemarkan nama baik insititusi mereka, POLDA
Sulsel terutama Kapolda Sulsel yakni Irjen (Pol). Jusup Manggarabarani.
Latar Belakang permasalahan
Konflik antara warga masyarakat
adat Kajang dengan PT. Lonsum berawal ketika pada tahun 1980-an PT. Lonsum
mulai membuka areal perkebunan di wilayah Kecamatan Bulukumba. Konflik ini
bertambah keruh karena PT. Lonsum berkolaborasi dengan aparat negara untuk
membebaskan tanah garapan yang dikuasai masyarakat adat Kajang. Konflik ini
terus menerus terjadi sampai dengan tahun 2000-an.
Persengketaan antara warga
masyarakat dengan PT. Lonsum mencuat kembali pada tanggal 5-8 Maret 2003,
dimana PT. Lonsum yang membawa massa antara 400-500 orang dan dibantu aparat
kepolisian dari Polres Bulukumba melakukan penggusuran, penyerobotan terhadap
tanah-tanah warga masyarakat Desa Bonto Mangiring. Selain melakukan penggusuran
dan penyerobotan, dalam tindakan tersebut dilakukan juga pembakaran 5 (lima)
rumah warga masyarakat. Dalam aksi tersebut terlihat ada salah satu mandor PT.
Lonsum yang bernama Abdul Malik atau Makking membawa senjata api dan melakukan
penembakan terhadap warga masyarakat.
Tindakan PT. Lonsum ini mendapat
tanggapan dari warga masyarakat, dimana pada tanggal 21 Juli 2003, sekitar 1500
orang petani dari Desa Bonto Biraeng dan Bonto Mangiring berkumpul di pos
Aliansi Suara Petani (ASP) yang berada di Kampung Tangaya Desa Bonto Mangiring
Kecamatan Bulukumba. Massa yang membawa 8 (delapan) buah Senso (gergaji)
tersebut berniat untuk masuk ke lokasi perkebunan karet Division Kukumba di
Desa Bonto Mangiring Kec. Bulukumba yang tidak termasuk dalam HGU PT. Lonsum.
Selanjutnya massa mulai
menebangi pohon-pohon karet yang ada di Divisi Kukumba (tetapi tidak termasuk
HGU milik PT. Lonsum) untuk menutup jalan produksi di Dusun Batulapisi Desa
Bonto Mangiring dan ke arah Desa Tammato. Sementara itu sekitar 30 orang
berjaga-jaga di pertigaan Lapangan-Panyingkulu dan Batulapisi. Namun, setelah
datang 6 (enam) orang polisi dari arah Bukia (dari arah Panyingkulu Desa
Tammato), massa yang berjaga-jaga tersebut kemudian melarikan diri ke arah
Dusun Batulapisi dimana massa yang lainnya sedang melakukan penebangan.
Tindakan masyarakat ini mendapat
represi aparat Kepolisian Resort Bulukumba yang didukung langsung Kapolda
Sulawesi Selatan dengan melakukan pengejaran, penangkapan, penahanan dan bahkan
penembakan terhadap orang-orang atau masyarakat yang diduga melakukan
penebangan di areal perkebunan PT. Lonsum. Akibat tindakan aparat ini telah
mengakibatkan 3 orang tewas dan beberapa orang lainnya luka-luka. Selain itu,
aparat kepolisian resort Bulukumba juga telah melakukan penahanan terhadap 36
orang petani, 24 orang petani ditahan di lembaga pemasyarakatan (LP) dan lima
petani telah dihukum penjara 4,5 bulan,” LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT
(ELSAM) sangat khawatir terhadap kondisi ini, dimana ancaman dan kriminalisasi
terhadap para pembela Hak Asasi Manusia (Human Right Defender) masih terus
terjadi.
Seharusnya negara maupun aparat
negara lah yang melakukan perlindungan dan mensuport aktifitas-aktifitas para
pekerja Hak Asasi Manusia bukan malah membelenggu aktifitas mereka atau
mengancam aktifitas tersebut dengan penggunaan kekerasan aparatur penegak
hukumnya.
ELSAM menilai Negara masih gagal
dalam melindungi hak-hak para pekerja Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam
Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tanggal
9 Desember 1998 dan berpendapat bahwa peristiwa ini telah melanggar berbagai
instrumen Hukum dan Hak Asasi Manusia yakni :
1. UUD
1945 terutama pasal 28 F, pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 I dan pasal 28 J
2. UU
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama pasal 14, pasal 17, pasal
24, pasal 71, dan pasal 72.
3. Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia terutama pasal 3, pasal 4, pasal 7, pasal
9, pasal 17, dan pasal 22
4. Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 6, pasal 7, pasal 9, dan
pasal 10
5. Kode
etik aparatur penegak hukum pasal 1 dan pasal 2
6. Deklarasi
Human Right Defender terutama ketentuan 9, ketentuan 10, dan ketentuan 11
C.
Penyelesaian
Penulis mengharapkan pihak lain
yang concern untuk membuat surat dukungan bagi para korban. Surat dukungan ini
dapat dikirimkan melalui fax, pos atau email kepada para pejabat yang berwenang
menangani kasus ini. Di dalam surat itu mohon dituliskan hal-hal yang bersifat
mendukung para korban penangkapan dan korban lainnya , dan menekan Pemerintah
Republik Indonesia agar segera:
1. Pemerintah
RI dalam hal ini Presiden Republik Indonesia agar melindungi hak-hak warga
negaranya terutama para pekerja dan pembela Hak Asasi Manusia
2. Kapolri
agar mengawasi para bawahannya agar tidak melakukan abuse of power dan
menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum.
3. Mendesak
agar aparat pemerintah, yakni aparat Pemda Sulsel memperhatikan secara serius
peristiwa ini.
4. Mendesak
agar Ketua DPRD TK I Sulsel memperhatikan secara serius peristiwa ini.
5. Mendesak
agar aparat Kepolisian Daerah Sulsel segera menghentikan ancaman terhadap para
pekerja dan pembela hak asasi manusia dalam kasus Bulukumba
6. Mendesak
agar aparat Kepolisian Daerah Sulsel tidak melanggar prinsip prinsip di dalam
deklarasi pembela hak asasi manusia
7. Mendesak
kepada Komisi Hak Asasi Manusia Nasional RI agar segera melakukan Pemantauan
dan penyelidikan berkelanjutan dalam kasus ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menjawab
permasalahan yang pertama yaitu: Bagaimana
sejarah HAM yang ada di Indonesia, dimana hak asasi sendiri sudah menjadi
pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB
pada tahun 1945, menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena
pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam.
Menjawab permasalahan yang kedua
yaitu masalah HAM yang ada di
Indonesia dan bagaimana penyelesaiannya, dalam kehidupan bernegara HAM diatur
dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
B.
Saran
Dalam Upaya penanganan
pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk
kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikanmelalui pengadilan umum. Untuk itu penegakkan HAM di Indonesia
dapat kita wujudkan dengan :
1.
Membantu pemerintah
dalam upaya penegakkan HAM.
2.
Berani mempertanggungjawabkan
setiap perbuatan melanggar HAM yang dilakukan dirisendiri.
3.
Mendukung, mematuhi
dan melaksanakan setiap kebijakan, undang-undang dan peraturanyang ditetapkan untuk menegakkan HAM di Indonesia
sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/5-kasus-pasal-28/
http://www.scribd.com/doc/81482402/Kasus-Kasus-Pelanggaran-HAM
0 komentar:
Posting Komentar