Pages

Subscribe:

Rabu, 27 Juni 2012

sejarah hak asasi manusia


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“Hak Asasi Manusia”



Disusun oleh :


              Nama                  :  Dessy Putri Widyanti
NPM                   :  3.111.08.50
Kelas                   :  2DB13



FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2012


KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya,  penulis diberikan kesehatan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Kewarganegaraan ini tepat pada waktunya yang bertema “Hak Asasi Manusia”.
Tugas ini tidak akan rampung tanpa bantuan dan bimbingan dari Yth Bpk. Idi Darma selaku dosen Pancasila. Kepada beliau penulis haturkan banyak terima kasih karena telah memberikan banyak saran dan masukan yang berharga serta motivasi dalam tugas ini. Dalam penulisan dan penyusunan tugas ini tentunya terdapat kekurangan serta keterbatasan kemampuan, sehingga mendapatkan hasil penulisan yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena hal ini, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca yang budiman, sehingga dapat menutupi kekurangan dan kelemahan penulis untuk akhirnya menjadikan sempurnanya penulisan tugas ini.
Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada  teman – teman saya yang sudah banyak membantu dan terima kasih yang teristimewa dan tiada terkira penulis haturkan kepada ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan segala kasih sayangnya serta do’a yang selalu mengiringi, selalu memberikan semangat membesarkan hati penulis.
Akhirnya penyusun berharap tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Dengan segala kerendahan hati penyusun berharap agar pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun bagi kemajuan pengetahuan penyusun karena penyusun sadar bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan. Akhir kata, tiada suatu hal yang sempurna, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat dalam menambah pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu issu penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Namun masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik, banyak pihak yang masih ragu-ragu akan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi penegakan HAM di Indonesia, dan faktor penyebab kurang ditegakannya HAM di Indonesia, termasuk kolerasi penegakan HAM dengan kegiatan keagamaan dan hukum dari agama yang di anut oleh masyarakat. 
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.




B.     Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka terdapat beberapa pokok masalah yaitu:
1.      Bagaimana sejarah HAM yang ada di Indonesia?
2.      Apa saja masalah HAM yang ada di Indonesia dan bagaimana penyelesain masalah tersebut?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui sejarah HAM yang ada di Indonesia
2.      Untuk mengetahui masalah HAM yang ada di Indonesia dan bagaimana penyelesain masalah tersebut





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia

Istilah hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim) Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945, menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB.
Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam (intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya. Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan “commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian) tersebut.



Perjanjian tersebut memuat :
a. Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
b. Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and political rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21), dan hak berserikat (Pasal 22).

Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5 Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34. Pengaturan tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu kalimat saja dan penambahan satu pasal. Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warg Negara. MPRS telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat bahwa pada saat itu pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM, maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2.   Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.

Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.




B.     Masalah Hak Asasi Manusia di Indonesia

KASUS HUMAN RIGHT DEFENDER
pasal 28 (g)

Ancaman tuntutan hukum (kriminalisasi) terhadap direktur walhi sulsel oleh mapolda Sulsel

Korban : Indah Fatinaware ( Direktur Eksekutif Walhi Sulsel)
Pada Bulan Oktober 2003 Mapolda Sulawesi Selatan telah mengirimkan surat panggilan pertama No Pol: S.Pgl/2351/X/2003/Dit Reskrim dan panggilan kedua No Pol : S.Pgl/1295.A/X/2003/Dit Reskrim terhadap Indah Fatinaware, Direktur Walhi Sulawesi selatan di Jl Rs Faisal X No 2 Makassar. Surat Panggilan ini dikeluarkan oleh Mapolda Sulsel untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana. Dalam surat tersebut korban di wajibkan menghadap kepada penyidik di Polda Sulsel.
Korban dalam surat panggilan tersebut diperiksa dan dimintai keterangannya selaku tersangka dalam perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan secara tertulis dan atau penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap institusi Polri (Polda Sulsel) sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 335 ayat (2) Subsider Pasal 311 lebih Subs Pasal 310 lebih Subsider lagi Pasal 316 dan atau Pasal 55 dan 56 KUHP.
Tuduhan yang dilakukan terhadap korban berkaitan dengan dikeluarkannya pernyataan sikap bersama terhadap insiden penembakan dan penangkapan petani Kasus Bulukumba, yang ditandatangani oleh korban pada tanggal 4 Oktober 2003 lalu. Pernyataan sikap tersebutlah yang dianggap Polda Sulsel telah mencemarkan nama baik insititusi mereka, POLDA Sulsel terutama Kapolda Sulsel yakni Irjen (Pol). Jusup Manggarabarani.
Latar Belakang permasalahan
Konflik antara warga masyarakat adat Kajang dengan PT. Lonsum berawal ketika pada tahun 1980-an PT. Lonsum mulai membuka areal perkebunan di wilayah Kecamatan Bulukumba. Konflik ini bertambah keruh karena PT. Lonsum berkolaborasi dengan aparat negara untuk membebaskan tanah garapan yang dikuasai masyarakat adat Kajang. Konflik ini terus menerus terjadi sampai dengan tahun 2000-an.
Persengketaan antara warga masyarakat dengan PT. Lonsum mencuat kembali pada tanggal 5-8 Maret 2003, dimana PT. Lonsum yang membawa massa antara 400-500 orang dan dibantu aparat kepolisian dari Polres Bulukumba melakukan penggusuran, penyerobotan terhadap tanah-tanah warga masyarakat Desa Bonto Mangiring. Selain melakukan penggusuran dan penyerobotan, dalam tindakan tersebut dilakukan juga pembakaran 5 (lima) rumah warga masyarakat. Dalam aksi tersebut terlihat ada salah satu mandor PT. Lonsum yang bernama Abdul Malik atau Makking membawa senjata api dan melakukan penembakan terhadap warga masyarakat.
Tindakan PT. Lonsum ini mendapat tanggapan dari warga masyarakat, dimana pada tanggal 21 Juli 2003, sekitar 1500 orang petani dari Desa Bonto Biraeng dan Bonto Mangiring berkumpul di pos Aliansi Suara Petani (ASP) yang berada di Kampung Tangaya Desa Bonto Mangiring Kecamatan Bulukumba. Massa yang membawa 8 (delapan) buah Senso (gergaji) tersebut berniat untuk masuk ke lokasi perkebunan karet Division Kukumba di Desa Bonto Mangiring Kec. Bulukumba yang tidak termasuk dalam HGU PT. Lonsum.
Selanjutnya massa mulai menebangi pohon-pohon karet yang ada di Divisi Kukumba (tetapi tidak termasuk HGU milik PT. Lonsum) untuk menutup jalan produksi di Dusun Batulapisi Desa Bonto Mangiring dan ke arah Desa Tammato. Sementara itu sekitar 30 orang berjaga-jaga di pertigaan Lapangan-Panyingkulu dan Batulapisi. Namun, setelah datang 6 (enam) orang polisi dari arah Bukia (dari arah Panyingkulu Desa Tammato), massa yang berjaga-jaga tersebut kemudian melarikan diri ke arah Dusun Batulapisi dimana massa yang lainnya sedang melakukan penebangan.
Tindakan masyarakat ini mendapat represi aparat Kepolisian Resort Bulukumba yang didukung langsung Kapolda Sulawesi Selatan dengan melakukan pengejaran, penangkapan, penahanan dan bahkan penembakan terhadap orang-orang atau masyarakat yang diduga melakukan penebangan di areal perkebunan PT. Lonsum. Akibat tindakan aparat ini telah mengakibatkan 3 orang tewas dan beberapa orang lainnya luka-luka. Selain itu, aparat kepolisian resort Bulukumba juga telah melakukan penahanan terhadap 36 orang petani, 24 orang petani ditahan di lembaga pemasyarakatan (LP) dan lima petani telah dihukum penjara 4,5 bulan,” LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM) sangat khawatir terhadap kondisi ini, dimana ancaman dan kriminalisasi terhadap para pembela Hak Asasi Manusia (Human Right Defender) masih terus terjadi.
Seharusnya negara maupun aparat negara lah yang melakukan perlindungan dan mensuport aktifitas-aktifitas para pekerja Hak Asasi Manusia bukan malah membelenggu aktifitas mereka atau mengancam aktifitas tersebut dengan penggunaan kekerasan aparatur penegak hukumnya.
ELSAM menilai Negara masih gagal dalam melindungi hak-hak para pekerja Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 9 Desember 1998 dan berpendapat bahwa peristiwa ini telah melanggar berbagai instrumen Hukum dan Hak Asasi Manusia yakni :
1.      UUD 1945 terutama pasal 28 F, pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 I dan pasal 28 J
2.      UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama pasal 14, pasal 17, pasal 24, pasal 71, dan pasal 72.
3.      Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia terutama pasal 3, pasal 4, pasal 7, pasal 9, pasal 17, dan pasal 22
4.      Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 6, pasal 7, pasal 9, dan pasal 10
5.      Kode etik aparatur penegak hukum pasal 1 dan pasal 2
6.      Deklarasi Human Right Defender terutama ketentuan 9, ketentuan 10, dan ketentuan 11
C.     Penyelesaian
Penulis mengharapkan pihak lain yang concern untuk membuat surat dukungan bagi para korban. Surat dukungan ini dapat dikirimkan melalui fax, pos atau email kepada para pejabat yang berwenang menangani kasus ini. Di dalam surat itu mohon dituliskan hal-hal yang bersifat mendukung para korban penangkapan dan korban lainnya , dan menekan Pemerintah Republik Indonesia agar segera:
1.      Pemerintah RI dalam hal ini Presiden Republik Indonesia agar melindungi hak-hak warga negaranya terutama para pekerja dan pembela Hak Asasi Manusia
2.      Kapolri agar mengawasi para bawahannya agar tidak melakukan abuse of power dan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum.

3.      Mendesak agar aparat pemerintah, yakni aparat Pemda Sulsel memperhatikan secara serius peristiwa ini.
4.      Mendesak agar Ketua DPRD TK I Sulsel memperhatikan secara serius peristiwa ini.
5.      Mendesak agar aparat Kepolisian Daerah Sulsel segera menghentikan ancaman terhadap para pekerja dan pembela hak asasi manusia dalam kasus Bulukumba
6.      Mendesak agar aparat Kepolisian Daerah Sulsel tidak melanggar prinsip prinsip di dalam deklarasi pembela hak asasi manusia
7.      Mendesak kepada Komisi Hak Asasi Manusia Nasional RI agar segera melakukan Pemantauan dan penyelidikan berkelanjutan dalam kasus ini.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Menjawab permasalahan yang pertama yaitu: Bagaimana sejarah HAM yang ada di Indonesia, dimana hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945, menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam.
Menjawab permasalahan yang kedua yaitu masalah HAM yang ada di Indonesia dan bagaimana penyelesaiannya, dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.

B.     Saran

Dalam Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikanmelalui pengadilan umum. Untuk itu penegakkan HAM di Indonesia dapat kita wujudkan dengan :

1.       Membantu pemerintah dalam upaya penegakkan HAM.
2.       Berani mempertanggungjawabkan setiap perbuatan melanggar HAM yang dilakukan dirisendiri.
3.       Mendukung, mematuhi dan melaksanakan setiap kebijakan, undang-undang dan peraturanyang ditetapkan untuk menegakkan HAM di Indonesia


sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/5-kasus-pasal-28/ 
http://www.scribd.com/doc/81482402/Kasus-Kasus-Pelanggaran-HAM